Tanpa pengakuan yang jujur terhadap masa lalunya, Jepang berisiko membangun masa depannya berdasarkan ingatan yang tidak utuh. Karena sejatinya, perdamaian membutuhkan lebih dari sekadar berkabung.
CARAPANDANG.COM, HIROSHIMA -- Pada 6 Agustus, Hiroshima kembali menjadi panggung bagi peringatan yang khidmat. Lonceng berdentang dan burung-burung merpati dilepaskan saat warga berkumpul di Taman Peringatan Perdamaian untuk memperingati 80 tahun peristiwa bom atom.
Serangkaian pidato disampaikan, karangan bunga diletakkan, dan kengerian perang nuklir dikenang dengan penuh duka. Namun, di balik ritual dan retorika tersebut, terdapat kekosongan yang terus mengendap, ketidakmauan untuk sepenuhnya menghadapi alasan sebenarnya mengapa bom tersebut dijatuhkan.
Narasi publik di Jepang masih berpusat pada posisi sebagai korban. Mayoritas responden yang diwawancarai dalam upacara tersebut, mulai dari mahasiswa hingga pengunjung berusia paruh baya, mengungkapkan kesedihan atas kehancuran yang terjadi, tetapi menunjukkan pemahaman yang minim terhadap konteks historis peristiwa itu.
"Saya tidak begitu memikirkan tentang hal itu," ungkap seorang keturunan penyintas bom atom. "Kami tidak lahir pada masa itu, jadi kami memang benar-benar tidak tahu."