SHARE

Ilustrasi | Istimewa

CARAPANDANG - Uni Eropa (UE) berencana memberikan putaran sanksi baru terhadap Rusia. Kali ini UE menargetkan sanksi kepada perusahaan yang dicurigai membantu Rusia menghindari sanksi internasional.

UE saat ini menuding orang, perusahaan, dan bahkan negara yang dicurigai membantu Moskow menghindari hukuman dengan bertindak sebagai tujuan transit untuk produk buatan UE yang kebetulan berada di bawah sanksi.

"Kami baru-baru ini melihat pertumbuhan arus perdagangan yang sangat tidak biasa antara Uni Eropa dan negara ketiga tertentu, di mana barang-barang ini kemudian berakhir di Rusia," kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, mengutip Euronews, Kamis (11/5/2023).

Meskipun rincian proposal tidak dipublikasikan, misi baru untuk menghukum Rusia dan pendukungnya langsung menimbulkan momok yang selama bertahun-tahun menghantui blok tersebut, yakni ekstrateritorialitas.

Jika berbicara tentang sanksi terhadap Rusia, pada kenyataannya, sanksi dari UE tersebut tidak diberlakukan di dalam Rusia karena UE tidak memiliki yurisdiksi di seluruh wilayah negara tersebut.

Apa yang dilakukan blok tersebut adalah memaksakan kewajiban pada negara anggota dan perusahaannya sendiri atas interaksi mereka dengan Rusia. Misalnya, perusahaan Eropa dilarang mengimpor batu bara Rusia.

Cara kerja seperti ini memberi negara margin tindakan yang cukup luas, mulai dari pembatasan yang ditargetkan pada produk utama tertentu hingga larangan luas yang mencakup seluruh sektor.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, strategi baru untuk menegakkan kepatuhan maksimum telah muncul, terutama dari Amerika Serikat yang telah mempromosikan penggunaan ekstrateritorialitas atau juga dikenal sebagai sanksi sekunder, pada entitas yang sepenuhnya berada di luar yurisdiksinya.

"Kami berbicara tentang perluasan jangkauan hukum domestik di luar negeri. Ini adalah sanksi ekstrateritorial yang sebagian besar mencegah perusahaan dan individu dari pihak ketiga untuk melakukan bisnis dengan negara yang ditargetkan," kata Viktor Szép, asisten profesor hukum di Universitas Groningen.

"AS pada dasarnya memperluas yurisdiksinya ke orang-orang non-AS dalam skala yang cukup luas. Dan mengingat banyak perusahaan besar yang memiliki hubungan dengan AS, maka undang-undang AS memiliki jangkauan yang cukup luas, terutama di bidang perbankan internasional."

Berbeda dengan AS, untuk memaksa entitas non-UE mematuhi undang-undang UE, blok tersebut akan membutuhkan pengaruh yang cukup kuat untuk membuat orang lain berpikir berkali-kali untuk melakukannya.

"Uni Eropa, sampai batas tertentu, adalah pendatang baru di arena sanksi sekunder," kata Tom Ruys, profesor hukum internasional di Universitas Ghent.

"Eropa tidak memiliki pengaruh yang sama seperti Amerika Serikat dengan aksesnya ke sistem keuangan AS, dengan persenjataan dolar, yang masih vital bagi berbagai lembaga keuangan di seluruh dunia. Menurut saya ini adalah sesuatu yang unik ke Amerika Serikat."

Menurut Ruys, UE memiliki tiga jalan yang memungkinkan untuk dapat melakukan hal tersebut, yakni dengan membatasi akses ke pasar internalnya yang kaya, meluncurkan proses pidana di pengadilan nasional terhadap mereka yang dicurigai menghindari sanksi, dan menambahkan lebih banyak perusahaan ke daftar hitam blok tersebut.

Terlepas dari hasil akhir negosiasi, putaran sanksi UE berikutnya dipastikan menghadapi kelemahan yang merusak keefektifan sanksi sebelumnya, di mana saat sanksi UE dirancang dan disepakati bersama, penegakannya hanya dilakukan di dasar tingkat nasional, sehingga membuatnya tak efektif.



Tags
SHARE