SHARE

Istimewa

CARAPANDANG - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga akan memfasilitasi layanan persiapan pemulangan MSK, terpidana anak perempuan berusia 15 tahun dari Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT). MSK dinyatakan bebas dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Kupang setelah menjalani masa tahanan sejak tahun 2021.  Sebelumnya MSK dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Soe dengan dakwaan melakukan pembunuhan terhadap NB (48 tahun). Selanjutnya hukuman pidana MSK berkurang menjadi 2 tahun melalui putusan Mahkamah Agung (MA) atas Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan PN Soe. Meskipun demikian dalam PK, MSK tetap dinyatakan bersalah dengan dakwaan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian.

“Kami menyambut gembira atas bebasnya MSK yang akhirnya bisa kembali bertemu dengan keluarganya. Hal yang penting diantisipasi saat ini adalah mengupayakan MSK tetap aman dan tidak mendapatkan stigmatisasi atau pelabelan negatif karena hal itu dapat mengakibatkan trauma berkepanjangan baginya. Untuk itu kami memfasilitasi layanan persiapan pemulangan MSK pasca bebas dari LPKA ke Rumah Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) milik KemenPPPA. MSK akan mendapatkan pendampingan pemulihan dari trauma, pendampingan keterampilan, dan bimbingan rohani yang dibutuhkan sebelum kembali ke tempat tinggal barunya,” ujar Menteri PPPA saat menyambut pembebasan MSK dari LPKA Kupang.

Menteri PPPA berharap pemerintah daerah termasuk kepala desa dapat melakukan sosialisasi dan memberikan informasi sebaik-baiknya kepada warga sekitar agar MSK tidak mendapatkan stigma dan perlakuan negatif dari masyarakat.

“Kami mohon agar semua pihak ikut menjaga MSK agar bisa tetap hidup normal dan yang terutama bisa kembali melanjutkan pendidikan. Hak tumbuh kembangnya harus tetap dipenuhi. Saya berharap tidak ada lagi anak-anak lain yang mengalami peristiwa yang sama dengan MSK. Hal ini menjadi pembelajaran kita semua mulai dari pengasuhan anak dalam keluarga, pendampingan, dan perlindungan anak oleh pemerintah setempat dan memastikan anak mendapat pengasuhan terbaik dari keluarga dan lingkungannya,” ucap Menteri PPPA.

Sejak Mei 2022, KemenPPPA membentuk tim, menggandeng lembaga hukum dan ahli psikiatri forensik berkoordinasi dengan Dinas PPPA Provinsi NTT dan Kabupaten Soe untuk menganalisis kasus tersebut. Tim menemukan sejumlah indikasi yang perlu dikaji lebih dalam untuk menjadi bukti baru (novum) sebagai materi untuk mengajukan permohonan PK.  Selain adanya temuan bahwa pembunuhan terjadi sebagai upaya membela diri terpaksa (darurat), juga ditemukan ada proses penanganan hukum perkara ini yang belum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Setelah ditemukan bukti-bukti yang cukup, tim kuasa hukum MSK mengajukan permohonan PK ke MA melalui PN Soe pada 2 November 2022. Selanjutnya, pada 6 Juni 2023 Majelis Hakim MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon PK/Terpidana MSK dan membatalkan Putusan PN Soe Nomor 1/Pid.SusAnak/2021/PN Soe tanggal 16 September 2021.

Sementara itu, Kepala Dinas PPPA Provinsi NTT Iien Adriany menyatakan pihaknya siap memfasilitasi pendampingan bagi MSK dan juga akan berupaya mencegah respon negatif dari pihak korban.

“Setelah bebasnya MSK, kami akan berupaya keras untuk melindungi dan mendampingi MSK agar bisa beraktifitas normal kembali. Rumah SAPA menjadi tempat rehabilitasi yang tepat untuk MSK sekaligus juga untuk mencegah jika keluarga korban tidak menginginkan kebebasan MSK. Kami akan berkoordinasi agar MSK dapat kembali bersekolah,” tutur Iien.

Dalam rangka, memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum serta menghargai harkat dan martabat ABH, dalam proses hukum, selanjutnya identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik sesuai dengan UU SPPA. Hal ini dipertegas dalam pasal 97, yaitu setiap orang yang melanggar kewajiban tersebut dapat dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500 juta rupiah.

Adapun pasal tersebut menjelaskan identitas sebagaimana dimaksud meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi sehingga tidak memberikan stigma dan label tertentu kepada ABH. Sebagai upaya untuk memenuhi hak tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa kekerasan dan diskriminasi, hal ini diperlukan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak yang melakukan suatu tindak pidana. kemenpppa.go.id

Tags
SHARE